Selain Kasus Brigadir J, Kapolri Diminta Usut Kasus Kekerasan Polisi Lainnya Secara Terbuka

Selain Kasus Brigadir J, Kapolri Diminta Usut Kasus Kekerasan Polisi Lainnya Secara Terbuka

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan pers terkait kasus kematian Brigadir J, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2022. Dugaan keterlibatan langsung Ferdy Sambo atas kematian Brigadir J masih didalami tim khusus. TEMPO/ Febri Angga Palguna

 – Amnesty Internasional mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam membuka kasus pembunuhan Brigadir J alias Nopryansah Yosua Hutabarat. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menyatakan bahwa kasus ini harus menjadi momen bagi penguatan akuntabilitas kepolisian dalam mengusut kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya.

Wirya menyatakan bahwa upaya menutup-nutupi kasus ini di awal penyidikan merupakan bukti bahwa akuntabilitas Polri masih jauh dari ideal. Dia melihat ada upaya dari pihak polisi untuk membuat Ferdy Sambo sebagai korban.

“Kami mengapresiasi keterbukaan dan upaya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, yang harus menjadi pertanyaan adalah bagaimana keterangan yang awalnya diberikan oleh pihak kepolisian bisa begitu jauh dari fakta dan membuat Irjen Ferdy Sambo malah terlihat sebagai korban,” kata Wirya melalui keterangan tertulisnya,  Rabu, 10 Agustus 2022.

Wirya menilai kasus Brigadir J itu hanya sebuah puncak gunung es. Menurut dia, masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi lainnya dan ditangani tidak secara tertutup.

Menurut catatan Amnesty Internasional, sepanjang 2018-2022 terjadi 38 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian atau tentara dengan total 60 korban meninggal.

“Hanya sedikit sekali dari kasus ini yang hasil investigasinya terbuka terhadap publik, dan hanya sedikit dari itu yang berlanjut ke pengadilan,” tulis Wirya.

“Amnesty juga mencatat banyak dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian. Selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober 2020, Amnesty mendokumentasikan ada setidaknya 402 kasus kekerasan polisi di 15 provinsi. Dalam kasus-kasus ini pun tidak terlihat ada langkah-langkah yang diambil untuk mencegah berulangnya kejadian serupa,” kata dia.

Karena itu, Amnesty Internasional pun meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap jajarannya untuk mencari akar masalah upaya pengaburan fakta seperti yang sempat terjadi pada kasus kematian Yosua.

“Dan mengambil langkah sistematis untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi,” kata dia.

Kapolri juga didesak untuk meninjau ulang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota polisi dan memastikan bahwa kasus-kasus tersebut juga diselesaikan secara transparan dan akuntabel.

“Sudah terlihat dari kasus ini bahwa akuntabilitas kepolisian penting untuk melindungi semua pihak, baik polisi maupun masyarakat umum,” kata Wirya.

Selain itu, Amnesty Internasional juga mendesak DPR agar meminta pertanggungjawaban Polri dalam kasus kekerasan oleh polisi lainnya.

“Pelaku kekerasan, baik anggota kepolisian maupun tidak, harus dibawa ke pengadilan dalam persidangan yang memenuhi standar internasional tentang fair trial dan tidak berakhir dengan penerapan hukuman mati,” kata Wirya.

Pada Selasa kemarin, 9 Agustus 2022, Kapolri menetapkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Yosua. Ferdy disebut sebagai pihak yang memerintahkan Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu menembak Yosua hingga tewas.

Selain Ferdy Sambo, tim khusus yang dibentuk Listyo Sigit Prabowo juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya. Mereka adalah Bharada E, Brigadir Ricky Rizal dan Kuwat. Sementara soal motif penembakan terhadap Brigadir J, Kapolri menyatakan masih harus dilakukan pendalaman, termasuk dengan memeriksa istri Ferdy, Putri Candrawathi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *