Jakarta, CNBC Indonesia – Bulan November resmi berakhir kemarin dan pasar saham Tanah Air menorehkan kinerja negatif. Kini kalender sudah menunjukkan bulan Desember. Alangkah baiknya investor mencermati faktor musiman (seasonality) dari IHSG di penghujung tahun.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan November 2021 dengan koreksi 1,13% ke level 6.533,93. Kinerja IHSG sejalan dengan tren pasar saham di bulan November dalam satu dekade terakhir.
Sejak tahun 2011-2020, kinerja bulanan IHSG cenderung negatif dengan rerata return sebesar -0,45%. Peluang koreksi IHSG pada periode tersebut juga terbilang tinggi hingga 70%. Memang bulan November menjadi bulan keramat bagi pasar saham domestik.
Namun yang lalu biarlah berlalu dan saatnya menatap yang sudah di depan mata. Jika melihat faktor musiman Desember maka kecenderungan IHSG mencatatkan koreksi terbilang sangat minim. Dalam 10 tahun terakhir kinerja bulanan IHSG konsisten positif dengan rerata imbal hasil 3,23%.
Desember | Kinerja Bulanan IHSG (%) |
2011 | +2,88% |
2012 | +0,95% |
2013 | +0,42% |
2014 | +1,50% |
2015 | +3,30% |
2016 | +2,87% |
2017 | +6,78% |
2018 | +2.28% |
2019 | +4,79% |
2020 | +6,53% |
Rata-rata | +3,23% |
Salah satu faktor pendorong fenomena ini adalah aktivitas mempercantik portofolio para fund manager yang lebih dikenal dengan istilah window dressing. Biasanya kenaikan IHSG juga akan dilanjutkan ke awal tahun berikutnya dan fenomena ini dinamai January Effect.
Saham-saham yang menjadi sasaran window dressing bulan Desember adalah saham blue chip yang nilai kapitalisasi pasarnya besar sehingga bobotnya terhadap indeks juga besar.
Hanya saja, akankah fenomena ‘Desember Hijau’ kembali terulang tahun ini? Apabila IHSG mengikuti tren musimannya, maka jawabannya adalah ‘ya’. IHSG bakal mencatatkan kinerja positif.
Secara historis, IHSG terbukti punya peluang besar menguat di akhir tahun. Namun yang namanya pasar tidak ada yang akan tahu persis apa yang terjadi ke depannya.
Untuk saat ini investor masih perlu mencermati perkembangan lanjutan munculnya varian baru Covid-19 yaitu varian Omicron. Varian ini disebut oleh WHO jauh lebih menular dari varian awal maupun varian Delta.
Pekan lalu, pasar keuangan dibuat kebakaran oleh pernyataan WHO terkait varian yang ditemukan di Afrika Selatan ini. Indeks saham acuan Eropa ambles 3%. Wall Street dan bursa saham utama Asia anjlok lebih dari 2%.
Kemarin, CEO Moderna juga menyebut bahwa varian Omicron ini bisa membuat vaksin yang sudah beredar dan disuntikkan saat ini menjadi kurang efektif untuk memberikan perlindungan dari serangan virus mematikan tersebut.
Perkataan bos Moderna tersebut kembali memicu reaksi negatif dari pasar yang menyebabkan indeks saham global terbenam di zona merah. Investor cenderung lari ke instrumen yang lebih aman seperti obligasi pemerintah yang membuat harganya naik dan yield-nya turun.
Untuk mengantisipasi kembali merebaknya kasus infeksi Covid-19 dan masuknya varian Omicron ke dalam negeri, pemerintah kembali mengetatkan PPKM.
DKI Jakarta yang sebelumnya masuk PPKM level I, ditingkatkan ke level II. Nantinya di penghujung tahun PPKM level III juga akan kembali diterapkan di Jawa dan Bali.
Apabila varian Omicron yang sudah ditemukan di Eropa dan Asia ini semakin menyebar dan meningkatkan jumlah kasus infeksi serta kematian secara signifikan, maka bukan tak mungkin rem darurat akan ditarik lagi oleh negara-negara yang terjangkit tidak terkecuali Indonesia. Lockdown bakal kembali membuat ekonomi terpuruk dan aset berisiko seperti saham diobral murah.
Secara historis memang Desember akan menjadi bulan baik bagi pasar modal, akan tetapi pesta akhir tahun bisa saja batal akibat varian Omicron.