Dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan angka kasus infeksi penyakit sifilis hampir mencapai 70 persen. Hal tersebut patut diwaspadai, terutama jika penularan terjadi pada ibu hamil. Risiko penularan sifilis dari ibu ke bayi amat tinggi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menuturkan, risiko penularan sifilis secara vertikal, dari ibu ke bayi yang dikandung, bisa mencapai 69-80 persen. Jika infeksi sifilis pada ibu hamil tidak diobati secara adekuat, hal itu dapat berisiko menyebabkan kejadian lahir mati dan abortus sebesar 40 persen, kematian perinatal sebesar 20 persen, berat badan lahir rendah, serta infeksi neonatus sebesar 20 persen.
”Penularan dari ibu ke anak-anak atau bayi ini bisa terjadi akibat ibu tidak mendapatkan pengobatan yang baik. Saat ini, jumlah ibu hamil dengan sifilis yang diobati masih rendah, yakni baru 41 persen,” tuturnya di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah ibu hamil dengan sifilis mencapai 5.590 kasus atau 0,5 persen dari total kasus sifilis. Itu artinya, masih ada sekitar 2.000 ibu hamil dengan sifilis tidak mendapatkan pengobatan.
Selain itu, tercatat dari 5 juta kehamilan, hanya sekitar 25 persen ibu hamil menjalani pemeriksaan untuk penapisan sifilis. Padahal, merujuk pada Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar, penapisan atau skrining sifilis harus dilakukan pada semua ibu hamil. Selain sifilis, penapisan dilakukan untuk deteksi HIV dan Hepatitis B. Penapisan tiga penyakit infeksi itu dilakukan sedini mungkin pada kunjungan antenatal (pemeriksaan kehamilan) pertama.
Penularan dari ibu ke anak-anak atau bayi ini bisa terjadi akibat ibu yang tidak mendapatkan pengobatan yang baik. Saat ini jumlah ibu hamil dengan sifilis yang diobati masih rendah, yakni baru 41 persen.
Syahril menyebutkan, upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sifilis sangat penting untuk dilakukan. Pada lima tahun terakhir dilaporkan adanya peningkatan angka kasus infeksi sifilis di Indonesia hampir 70 persen. Pada 2018, kasus sifilis yang ditemukan sebanyak 12.484 kasus. Pada 2022, kasus yang ditemukan meningkat menjadi 20.783 kasus.
Penemuan kasus yang semakin meningkat merupakan hal baik karena deteksi dini telah dilakukan. Namun, sayangnya, dari data yang dilaporkan, peningkatan penemuan kasus tidak diiringi dengan peningkatan jumlah pasien yang diobat.
”Rendahnya pengobatan (sifilis) karena adanya stigma dan unsur malu. Setiap tahunnya, dari lima juta kehamilan, hanya sebanyak 25 persen ibu hamil yang di skrining sifilis. Dari 1,2 juta ibu hamil, sebanyak 5.590 ibu hamil positif sifilis. Hal ini perlu jadi perhatian kita bersama,” kata Syahril.
Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Salah satu penyakit infeksi menular seksual ini bisa ditularkan secara vertikal dari ibu ke bayi selama masa kehamilan dan persalinan, serta bisa ditularkan melalui hubungan seks, jarum suntik, dan produk darah yang tercemar.
Penularan HIV
Syahril menyampaikan, selain penularan sifilis, penyebaran HIV secara vertikal juga patut diperhatikan. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi mencapai 45 persen. Kondisi deteksi dini dan pengobatan yang belum optimal juga ditemukan pada kasus HIV pada ibu hamil.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan hanya 55 persen ibu hamil yang mendapatkan tes penapisan HIV. Selain itu, baru 24 persen ibu hamil dengan HIV yang menjalani pengobatan antiretroviral. Pengobatan ini diperlukan untuk menekan virus di dalam tubuh sehingga dapat menekan risiko penularan.
Syahril menyebutkan, penularan HIV dari suami ke istri merupakan jalur penularan terbanyak kedua yang dilaporkan setelah penularan dari LSL (laki-laki seks dengan laki-laki).
Tercatat setidaknya ada 4,9 juta perempuan menikah dengan pria berisiko tinggi HIV. Namun, kesadaran untuk menjalani pemeriksaan masih rendah. Jika tidak terdeteksi, pengobatan tidak bisa diberikan dengan baik. Hal itu yang menyebabkan sekitar 4.000 bayi lahir dengan HIV setiap tahun.
”Upaya untuk melakukan skrining pada setiap individu kini menjadi prioritas pemerintah untuk mencapai eliminasi HIV, termasuk pemutusan mata rantai penularan HIV secara vertikal dari ibu ke bayi. Setiap ibu yang terinfeksi, 100 persen harus mendapatkan tata laksana yang baik sehingga angka anak yang terinfeksi HIV bisa ditekan,” ujar Syahril.
Sebelumnya, anggota Satuan Tugas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia, Debbie Latupeirissa, dalam pertemuan virtual yang diselenggarakan IDAI pada Selasa (28/2/2023) menyampaikan, anak yang lahir dengan HIV perlu mendapatkan perhatian lebih. Anak dengan HIV lebih berisiko mengalami infeksi penyakit, khususnya jika daya tahan tubuhnya menurun. Karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk memastikan daya tahan tubuh anak tetap terjaga.
”Dukungan lingkungan sangat penting untuk memastikan pertumbuhan dan perkembangan dari anak dengan HIV tetap berjalan baik. Untuk menjaga daya tahan tubuh agar terhindar dari infeksi perlu dipastikan anak mendapatkan gizi seimbang. Perlindungan dari imunisasi juga tidak boleh terlewat,” ujarnya.