Mohamad Roem Diplomat Ulung, Desak Belanda Mengakui Kemerdekaan Tanpa Syarat
– Perjanjian Roem-Roijen juga dieja Roem-Roeyen, adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada 17 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Nama Roem-Roijen diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen.
Perjanjian Roem-Roijen dimaksudkan untuk menyelesaikan beberapa masalah kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian berlangsung sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikapnya terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Mengutip munasprok.go.id, saat perundingan Roem-Roijen diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dan dipimpin oleh Merle Cochran. Dengan delegasi RI diwakili Mr. Muhammad Roem dan Belanda diketuai Dr. JH. Van Royen. Dimulai sejak 17 April 1949, perundingan akhirnya selesai pada 7 Mei 1949 dengan hasil: pemerintah RI termasuk para pemimpin yang ditawan akan dikembalikan ke Yogyakarta dan kedua pihak sepakat untuk melaksanakan (KMB) di Den Haag.
Keikutsertaan pemerintah RI dalam perundingan selanjutnya bukan tanpa syarat. Pihak pemerintah RI menuntut agar Tentara Belanda ditarik dari wilayah Yogyakarta. Yang akhirnya syarat tersebut diterima pihak Belanda. Sehingga pada 2 Juni 1949 pengosongan wilayah Yogyakarta mulai dilakukan di bawah pengawasan UNCI (United Nations Commisions for Indonesia).
Hasil Perjanjian Roem-Roijen
Perundingan Roem-Roijen menghasilkan beberapa poin perjanjian, meliputi:
1. Angkatan bersenjata Republik Indonesia harus dapat menghentikan semua kegiatan gerilya.
2. Pemerintah Republik Indonesia akan ikut serta dalam menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB).
3. Akan kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke kota Yogyakarta.
4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan akan membebaskan semua tahanan perang dan politik.
5. Belanda menyetujui Republik Indonesia yang sebagian dari Negara Indonesia Serikat.
6. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat apapun.
7. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan pada hak.
8. Belanda memberikan semua hak, kekuasaan dan kewajiban kepada bangsa Indonesia.
Tindak Lanjut Perjanjian Roem-Roijen
Pada tanggal 22 Juni diadakan suatu diskusi perundingan dengan BFO, Indonesia serta Belanda, terkait kelanjutan Perjanjian Roem Royen. Perundingan ini di bawah pengawasan komisi PBB, yang dipimpin oleh Critchley dari Australia. Hasil meliputi:
1. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia yang dilaksanakan pada 24 Juni 1949. Kemudian Karesidenan Surabaya dikosongkan oleh Tentara Belanda dan tepat pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Indonesia kembali berpusat di Yogyakarta setelah TNI menguasai suatu keadaan sepenuhnya daerah tersebut.
2. Konferensi Meja Bundar diusulkan untuk dapat dilaksanakan di Belanda tepatnya kota Den Haag.
3. Masalah penyelesaian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan Indonesia ke kota Yogyakarta.
Hasil permusyawaratan yang dapat dicapai berkat kepiawaian diplomasi Mohamad Roem ini akan dicantumkan dalam sebuah memorandum. Setelah para pemimpin Indonesia berkumpul di kota Yogyakarta, Republik Indonesia akan mengadakan sidang kabinet yang pertama. Dalam sidang kabinet tersebut Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk untuk menjadi Koordinator keamanan dan sekaligus menteri Pertahanan RI.