Atasi Sampah Organik, Rest Area Cibubur Gunakan Teknologi Bio Conversion Lalat Tentara Hitam

Proses pegolahan sampah organik menggunakan teknologi Bio Conversion

Teknologi Bio-Conversion memanfaatkan Lalat Tentara Hitam/Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens terus didorong untuk mengolah limbah organik. Teknologi ini digunakan Rest Area Cibubur untuk mengolah limbahnya.

Peresmian fasilitas pengolahan limbah organik di Rest Area Cibubur yang dikelola PT Bimaruna Marga Jaya, sebagai bagian usaha dari Korindo Group ini dilakukan oleh Kementerian PUPR, Yayasan Korindo, dan Yayasan Forest For Life Indonesia (FFLI).

Peresmian ini juga menjadi momentum penting memperkenalkan pendekatan teknologi Bio-Conversion BSF yang diharapkan dapat diadopsi guna mengatasi masalah pengelolaan sampah di rest area atau pun tempat-tempat lainnya. Untuk diketahui, rest area yang terletak di Tol Jagorawi KM 10 ini adalah rest area pertama di Indonesia yang menerapkan fasilitas tersebut.

“Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab para pengelola rest area jalan tol, sudah sepantasnya memiliki fasiltas seperti ini. Jangan lagi memindahkan masalah sampah organik ke tempat lain. Jika dapat diselesaikan di tempat mengapa harus dibawa-bawa sampai ke hilir,” ucap Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Sekjen Kementerian PUPR, Mohammad Zainal Fatah. Turut hadir Dirjen Cipta Karya Ir Diana Kusumastuti, MT dan Counsellor Kedutaan Besar Korea Selatan Lee Joonsan.

Fasilitas pengolahan limbah organik dengan teknologi Bio-Conversion yang memanfaatkan Lalat Tentara Hitam (BSF) ini dirancang menampung sekaligus mengatasi limbah organik di Rest Area Cibubur agar dapat bersih dalam sehari. Fasilitas ini berkapasitas sampai dengan satu ton sampah organik setiap hari.

Rest Area Cibubur dipilih sebagai lokasi pembangunan fasilitas Bio-Conversion BSF karena merupakan salah satu sumber limbah organik yang perlu diselesaikan permasalahannya langsung di tempat. Cara yang sama juga dapat diterapkan di lokasi sumber-sumber limbah organik lainnya, seperti pasar tradisional, kawasan industri, perkantoran, dan perumahan.

“Selain bermanfaat bagi lingkungan, fasilitas ini diharapkan bisa menciptakan peluang ekonomi baru karena Yayasan Korindo akan mengembalikan keuntungan yang muncul dari proyek ini untuk program-program pengembangan masyarakat dan lingkungan,” ungkap Ketua Yayasan Korindo, Robert Seung.

Robert berharap, Bio-Conversion BSF di Rest Area Cibubur mampu mendulang sukses sebagaimana Bio-Conversion BSF dengan kapasitas empat ton per hari di Lombok yang telah dibangun melalui dukungan dana dari Yayasan Korindo pada 2017 lalu.

Pada proyek ini, FFLI menjalin kerjasama dengan Pemda Provinsi NTB memantau pengoperasiannya sampai saat ini. Maka tak heran jika proyek ini dijadikan salah satu prototype penanganan sampah di Lombok.

“Fasilitas-fasilitas ini tentunya tidak bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya kolaborasi dari FFLI serta dukungan dari pemerintah setempat. Oleh karena itu, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerja sama yang baik dari semua pihak yang terlibat,” ucap Robert.

Lebih lanjut, Robert mengatakan, melalui Yayasan Korindo, perusahaan-perusahaan yang berada dibawah naungan Korindo Group sejatinya telah berkontribusi dalam mendukung upaya-upaya mengembalikan keseimbangan alam di Indonesia.

Sementara itu, Ketua Yayasan FFLI, DR Hadi Pasaribu, fasilitas Bio-Conversion ini juga berperan dalam memberi solusi melalui penciptaan lingkungan yang bersih dan sehat, menyelesaikan masalah sampah di hulu, menyediakan sumber protein, lemak dan chitin, mengembalikan kesuburan tanah, serta berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

“Semakin banyak fasilitas Bio-Conversion yang dibangun, maka semakin besar manfaat yang dihasilkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup kita,” jelasnya.

Senada dengan Ketua Yayasan FFLI, tokoh penggiat BSF di Indonesia, Prof Agus Pakpahan juga mendorong agar fasilitas-fasilitas seperti ini dapat dibangun di banyak tempat, sehingga sampah tidak perlu diangkut ke TPA.

“Selain menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat cara ini banyak memberi manfaat untuk lingkungan hidup dan membentuk ekonomi sirkuler,” ujarnya.

Dijelaskannya, metode Bio-Conversion Organic dengan menggunakan Lalat Tentara Hitam relatif aman bagi lingkungan. Dari sekitar 800 jenis yang ada di muka bumi, Lalat Tentara Hitam merupakan jenis yang paling berbeda, karena tidak bersifat patogen atau membawa agen penyakit.

Pada metode ini, larva Lalat Tentara Hitam akan mengurai sampah organik yang dihasilkan aktivitas manusia. Setelah optimal mengurai sampah organik, larva-larva tersebut bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, seperti ayam atau ikan karena kaya akan asam amino dan protein. Proses inilah yang pada akhirnya membentuk ekonomi sirkuler, di mana prospek ekonomi baru terjadi.

“Dari sisi quality of life juga akan bisa mengurangi banyak pencemaran. Kedua juga memberi lapangan kerja baru bukan hanya sebagai pengelola tapi bagi produk ikutan baru yang juga butuh tenaga pemasarannya,” ucap Sekjen PUPR, Mohammad Zainal Fatah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *