Banten
Banten Bantam | |
---|---|
Transkripsi bahasa Sunda | |
• Aksara Sunda | ᮘᮔ᮪ᮒᮨᮔ᮪ |
• Pegon | بنتٓن |
• Romanisasi bahasa Sunda | Banten |
Motto: Iman taqwa | |
Negara | Indonesia |
Dasar hukum pendirian | UU No. 23 Tahun 2000 |
Hari jadi | 4 Oktober 2000 |
Ibu kota | Kota Serang |
Kota besar lainnya | Daftar |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar |
Pemerintahan | |
• Gubernur | Al Muktabar (Pj.) |
• Wakil Gubernur | – |
• Sekretaris Daerah | Mochammad Tranggono (Pj.) |
• Ketua DPRD | Andra Soni |
Luas | |
• Total | 9.662,92 km2 (3,730,87 sq mi) |
Populasi | |
• Total | 12.321.660 |
• Kepadatan | 1,300/km2 (3,300/sq mi) |
Demografi | |
• Agama | Islam 94,83% Kristen 3,82% —Protestan 2,61% —Katolik 1,21% Buddha 1,18% Hindu 0,07% Sunda Wiwitan 0,07% Konghucu 0,02%[2] |
• Bahasa | Daftar |
• IPM | 72,72 (2021) Tinggi[3] |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode pos | 15xxx dan 42xxx |
Kode area telepon | Daftar |
Kode ISO 3166 | ID-BT |
Pelat kendaraan | Daftar |
Kode Kemendagri | 36 |
DAU | Rp 1.159.302.397.000,00- (2020)[4] |
Lagu daerah |
|
Rumah adat |
|
Senjata tradisional | Golok |
Flora resmi | Kokoleceran |
Fauna resmi | Badak bercula satu |
Situs web | www |
Banten (aksara Sunda: ᮘᮔ᮪ᮒᮨᮔ᮪, Pegon: بنتٓن) adalah sebuah provinsi di Pulau Jawa, Indonesia. Ibu kota dan pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. Provinsi ini merupakan provinsi yang paling barat di Pulau Jawa. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat, tetapi provinsi ini menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Suku aslinya adalah suku Sunda Banten yang berada di wilayah Kabupaten Serang bagian selatan, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, serta sebagian besar Kabupaten Tangerang, dan komunitas masyarakat adat yakni suku Badui yang mendiami wilayah Gunung Kendeng dan Leuwidamar di Kabupaten Lebak.
Geografi[sunting | sunting sumber]
Wilayah Banten terletak di antara 5º7’50”-7º1’11” Lintang Selatan dan 105º1’11”-106º7’12” Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 155 kecamatan, 313 kelurahan, dan 1.238 desa.[2]
Banten memiliki wilayah laut yang menjadi salah satu jalur laut strategis yaitu Selat Sunda. Dengan menggunakan kapal-kapal berukuran besar, Selat Sunda menjadi jalur penghubung antara Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara, khususnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, wilayah laut Banten adalah jalur penghubung antara Jawa dan Sumatra.[5]
Banten secara geografis dan pemerintahan berperan sebagai zona penyangga bagi Jakarta. Peran ini utamanya berfungsi di wilayah Tangerang Raya yang meliputi Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.[6] Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Batas wilayah[sunting | sunting sumber]
Utara | Laut Jawa dan Kepulauan Seribu |
Timur | DKI Jakarta dan Jawa Barat |
Selatan | Jawa Barat dan Samudera Hindia |
Barat | Selat Sunda dan Lampung |
Topografi[sunting | sunting sumber]
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut:
- Wilayah datar (kemiringan 0-2 %) seluas 574.090 hektare
- Wilayah bergelombang (kemiringan 2-15%) seluas 186.320 hektare
- Wilayah curam (kemiringan 15-40%) seluas 118.470,50 hektare
Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya wilayah hutan dari 233.629,77 hektare pada tahun 2004 menjadi 213.629,77 hektare.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947, dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian Raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan Kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Sarayu dan Ci Pamali dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Bantam menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Bantam adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu kota atau pakuan (berasal dari kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja sementara di sisi lain para Kandaga Lante dari Kerajaan Pajajaran secara resmi menyerahkan seluruh atribut dan perangkat kerajaan beserta abdi kepada Kerajaan Sumedang Larang untuk meneruskan kelanjutan Kerajaan Sunda atau Pajajaran yang merupakan trah Siliwangi.
Dengan dihancurkannya Pajajaran maka Banten mewarisi wilayah Lampung dari Kerajaan Sunda. Hal ini dijelaskan dalam buku The Sultanate of Banten tulisan Claude Guillot pada halaman 19 sebagai berikut: “From the beginning it was obviously Hasanuddin’s intention to revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaran for his own benefit. One of his earliest decisions was to travel to southern Sumatra, which in all likelihood already belonged to Pajajaran, and from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region.“[7]