Polemik yang dihadapi maskapai penerbangan Garuda Indonesia semakin berat. Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) itu juga tampak kian ngos-ngosan.
Besar pasak daripada tiang, pendapatan bisnis yang mampu diraup maskapai pelat merah tersebut, tak sebanding dengan besarnya beban operasional.
Berdasarkan data keterbukaan informasi perusahaan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Garuda tercatat meraup pendapatan USD 568 juta atau setara Rp 8,08 triliun (kurs Rp 14.232) hingga September 2021.
Sedangkan total beban operasional yang mesti dibayarkan Garuda Indoensia, jumlahnya mencapai USD 1,29 miliar atau setara Rp 18,3 triliun.
“Perseroan yang sebagian besar bersifat tetap/fixed, yang tidak sebanding dengan penurunan signifikan atas revenue Perseroan-imbas kondisi Pandemi Covid-19,” jelas manajemen Garuda Indonesia dalam laporan itu, dikutip kumparan, Rabu (17/11).
Manajemen mengatakan bahwa laporan keuangan lengkap nantinya bakal disampaikan dalam pengumuman kinerja keuangan kuartal ketiga, di mana jadwalnya menyesuaikan ketentuan pasar modal.
Jumlah penumpang maskapai ini hingga September 2021, adalah sebanyak 2,3 juta pax. Sementara hingga akhir tahun jumlahnya diproyeksikan mencapai 3,3 penumpang.
Angka ini hanya menyentuh 17 persen dari kondisi tahun 2019 sebelum merebaknya pandemi COVID-19. Kendati demikian, manajemen masih optimistis jumlahnya bertambah seiring mulai pulihnya kondisi perekonomian.
“Seiring dengan kondisi pandemi yang saat ini mulai terkendali dan dengan diperlonggarnya kebijakan mobilitas masyarakat pasca PPKM Darurat diterapkan, maka diharapkan kondisi ini dapat mendorong peningkatan revenue bagi Perseroan melalui peningkatan jumlah penumpang,” tutur manajemen emiten berkode GIAA itu.