Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan murka terhadap ledakan bom di Istanbul Turki. Ia mengungkapkan kekesalannya atas ledakan yang menewaskan enam orang tersebut dan menyebutnya berbau terorisme.
Sebelum terbang ke Bali untuk KTT G20, Erdogan menegaskan bahwa Turki tidak akan mampu digoyahkan oleh aksi teror. Ia memaparkan bahwa pelaku, yang diduga melibatkan peran seorang perempuan, akan dihukum sebagaimana mestinya.
“Salah jika mengatakan ini pasti serangan teroris. Tapi perkembangan awal dan intelijen dari gubernur adalah berbau terorisme,” ujarnya dikutip CNBC International, Senin (14/11/2022).
“Serangan ini berbahaya,” tambahnya.
“(Namun) upaya untuk mengalahkan Turki dan rakyat Turki melalui terorisme akan gagal hari ini seperti yang mereka lakukan kemarin dan akan gagal lagi besok,” kata Erdogan lagi.
Ledakan bom itu sendiri terjadi di Istiklal Avenue. Saat itu, wilayah bersejarah itu penuh sesak dengan warga lokal yang sedang berbelanja, turis, dan juga keluarga yang menghabiskan waktu akhir pekan.
Rekaman video yang diperoleh Reuters menunjukkan saat ledakan terjadi pada pukul 16.13 waktu setempat. Terlihat ledakan telah melempar puing-puing ke udara dan meninggalkan beberapa orang tergeletak.
Beberapa jam setelah ledakan, Wakil Presiden Fuat Oktay mengunjungi lokasi tersebut untuk memberikan jumlah korban tewas dan cedera terbaru. Selain enam tewas, korban luka mencapai 81 orang.
Pihak berwenang kemudian menambahkan ada seorang pekerja kementerian pemerintah dan putrinya yang termasuk dalam korban tewas. Lima orang dalam perawatan intensif di rumah sakit, dua di antaranya dalam kondisi kritis.
Istanbul dan kota-kota Turki lainnya pernah menjadi sasaran separatis Kurdi, militan Islam, dan kelompok lain. Termasuk dalam serangkaian serangan pada 2015 dan 2016.
Pemboman kembar di luar stadion sepak bola Istanbul pada Desember 2016 menewaskan 38 orang dan melukai 155 lainnya. Serangan itu diklaim dilakukan oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Turki, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS).