Jakarta, CNBC Indonesia – Emiten teknologi memiliki perlakuan khusus di Bursa Efek Indonesia (BEI). Otoritas bursa sendiri menggelar karpet merah bagi perusahaan rintisan yang mau IPO, meskipun mereka masih dalam kondisi rugi asalkan memiliki fundamental yang bagus ke depan.
Secara umum semakin kecil rasio valuasi – PBV dan PER – menandakan saham yang diperdagangkan semakin murah. Rasio ini sering digunakan dan akan menjadi lebih representatif jika dibandingkan antar emiten dalam satu industri yang sama.
Lalu apa yang terjadi dengan saham teknologi yang memiliki rasio PBV relatif kecil namun masih ditekan aksi jual oleh investor?
Pada dasarnya PBV menjadi salah satu indikator awal penilaian mahal murahnya saham, akan tetapi penggunaannya relatif terbatas karena hanya melihat dari neraca keuangan, tanpa memperhitungkan kondisi laba rugi perusahaan. Terlebih lagi, kualitas aset tiap perusahaan dan industri juga berbeda dan berpotensi menimbulkan ilusi.
Perusahaan dengan jumlah aset lancar yang lebih dominan cenderung memiliki PBV relatif lebih tinggi dari perusahaan yang mayoritas asetnya masuk dalam klasifikasi tidak lancar atau tidak dapat dikonversi menjadi cash dalam waktu cepat.
Hal ini yang saat ini juga terjadi di beberapa perusahaan teknologi yang sudah melantai di bursa, di mana aset tidak lancar mewakili mayoritas total aset perusahaan. Lebih parah lagi, aset tidak lancar tersebut nyaris 80% dari aset tidak lancar diklasifikasikan sebagai goodwill.
Goodwill sendiri merupakan suatu bagian aset dalam neraca keuangan perusahaan, yang masuk dalam kategori aset yang tidak berwujud. Karena itu besaran goodwill sulit diukur secara pasti yang benar-benar merepresentasikan kondisi neraca keuangan perusahaan.
Goodwill tercipta ketika perusahaan mengakuisisi bisnis lain lebih dari nilai aset bersihnya. Secara umum selisih tersebut akan digolongkan sebagai goodwill.
Goodwill Bikin Valuasi Menjadi Samar-Samar
Goodwill sendiri merupakan praktik umum yang banyak diterapkan oleh perusahaan teknologi, mengingat banyak dari aset perusahaan tidak berwujud. Aset tidak berwujud sendiri termasuk di dalamnya paten hingga data konsumer. Akan tetapi tantangan utama masih tetap berkutat dengan seberapa akurat dan presisi goodwill merepresentasikan aset tidak berwujub yang dimiliki perusahaan.
Meski demikian, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator utama pencatatan perusahaan publik di Indonesia juga tidak mengatur secara ekstensif terkait goodwill dalam panduan dan persyataran IPO. Otoritas bursa hanya menyebut perusahaan yang akan melantai di papan utama harus memiliki aset berwujud lebih dari Rp 100 miliar dan untuk papan pengembangan minimal Rp 5 miliar.
“Terkait dengan persyaratan angka-angka dalam laporan keuangan, perusahaan perlu memenuhi ketentuan batas minimal aset berwujud bersih atau net tangible asset (NTA) sebesar minimal Rp 5 miliar. NTA dihitung dari total aset dikurangi dengan aset tak berwujud, aset pajak tangguhan, total liabilitas dan kepentingan non pengendali,” tulis BEI lewat Panduan IPO.
Sementara itu berdasarkan buku panduan BEI tidak terdapat aturan rinci terkait aset tidak berwujud (non-tangible asset), termasuk juga aturan terkait goodwill.
Pihak GOTO dan Bursa Efek Indonesia tidak merespons langsung permintaan komentar dari CNBC Indonesia.