Hikmahanto Juwana: Surat Penangkapan Vladimir Putin Akrobat Hukum ICC
– Sejumlah ahli melihat ada kejanggalan dari surat perintah penahanan Presiden Rusia Vladimir Putin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) akhir pekan lalu. Pemimpin Kremlin itu diyakini akan sulit ditangkap.
“Proses yang dilakukan oleh Jaksa ICC hanyalah akrobat hukum belaka yang tidak mungkin efektif diwujudkan,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dalam keterangan yang diterima Tempo pada Senin, 20 Maret 2023.
Presiden Rusia Vladimir Putin, 9 Mei 2022. Sputnik/Mikhail Metzel/Pool via REUTERS
Sebelumnya ICC melalui surat yang diterbitkan pada Jumat, 17 Maret 2023, menuduh Putin bertanggung jawab atas kejahatan perang, di antaranya mendeportasi anak-anak Ukraina – setidaknya ratusan, mungkin lebih – ke Rusia. Putin adalah kepala negara ketiga yang didakwa oleh ICC saat masih berkuasa.
Kremlin dengan cepat menolak tuduhan tersebut. Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan keputusan ICC tidak ada artinya bagi Rusia, termasuk dari sudut pandang hukum.
Sebanyak 123 negara anggota ICC wajib menahan dan mengusir Putin jika dia menginjakkan kaki di wilayah mereka. Rusia bukan anggota, begitu pula Cina, Amerika Serikat atau India, yang menjadi tuan rumah pertemuan puncak kelompok ekonomi G20 akhir tahun ini.
Menurut Hikmahanto, status Rusia yang bukan anggota ICC merupakan gelagat tak biasa dalam perintah penangkapan Putin. Sebab jika hanya anak-anak Ukraina yang dijadikan dasar oleh Jaksa ICC untuk menyeret Putin, maka hal ini seolah mencari-cari alasan agar Putin dapat diseret.
Hikmahanto mengatakan Presiden Putin akan sulit ditangkap dan dihadirkan di ICC oleh Jaksa ICC yang berkedudukan di Den Haag. Alasannya karena Pemerintahan Putin masih tegak berdiri dan upaya permintaan ekstradisi apapun akan ditolak. Rusia juga tidak akan terganggu bahkan dengan tekanan ekonomi, walau perjalanan luar negeri presiden pasti akan dikurangi.
Mantan presiden Sudan Omar al-Bashir dan Muammar Gaddafi dari Libya adalah pemimpin lain yang juga didakwa oleh ICC saat menjabat sebagai kepala negara. Tuduhan terhadap Gaddafi dihentikan setelah dia digulingkan dan dibunuh pada 2011.
Sementara Bashir, yang didakwa pada 2009 atas genosida di Darfur, tetap menjabat selama satu dekade sampai digulingkan dalam kudeta. Dia telah diadili di Sudan untuk kejahatan lain tetapi belum diserahkan ke ICC.
Saat menjabat, dia melakukan lawatan ke sejumlah negara Arab dan Afrika, termasuk negara anggota ICC Chad, Djibouti, Yordania, Kenya, Malawi, Afrika Selatan, dan Uganda, yang menolak untuk menahannya. Pengadilan menegur negara-negara tersebut atau merujuk mereka ke Dewan Keamanan PBB karena ketidakpatuhan.
Perang Urat Saraf
Pengadilan kejahatan perang permanen dunia dibentuk oleh Statuta Roma, sebuah perjanjian yang diratifikasi oleh semua negara Uni Eropa, serta Australia, Brasil, Inggris, Kanada, Jepang, Meksiko, Swiss, 33 negara Afrika, dan 19 negara di Pasifik Selatan.
Senada dengan Hikmahanto. Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Padjajaran Atip Latipulhayat mengatakan sulit bagi ICC menangkap Putin sebab mahkamah itu tidak memiliki aparat keamanan sendiri dan menyerahkan pada negara yang meratifikasi Statuta Roma. Sedangkan kepala negara seperti Putin juga pasti memiliki imunitas.
Rusia menandatangani Statuta Roma pada tahun 2000, tetapi menarik dukungannya pada 2016, setelah ICC mengklasifikasikan aneksasi Moskow atas Semenanjung Krimea di Ukraina sebagai konflik bersenjata.
“Kalau pun melibatkan Dewan Keamanan PBB, Rusia pemegang veto, jadi itu dilema yang dihadapi oleh ICC. Banyak paradoks,” kata Atip saat dihubungi Tempo, Senin, 20 Maret 2023.
Atip menilai surat perintah yang dikeluarkan ICC itu, lebih pada tekanan politik untuk Putin. “Pesannya, semacam psywar. ‘Oh ini Putin sudah dikualifikasi oleh masyarakat internasional melakukan kejahatan perang’,” imbuhya.
ICC telah mengadili seorang mantan kepala negara setelah dia meninggalkan jabatannya, seperti mantan Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo. Dia dibebaskan dari semua tuduhan pada 2019 setelah menjalani persidangan selama tiga tahun.
Presiden Kenya William Ruto dan pendahulunya Uhuru Kenyatta didakwa oleh ICC sebelum mereka terpilih. Tuduhan terhadap kedua pria itu telah dibatalkan. Kenyatta adalah satu-satunya pemimpin yang muncul di hadapan ICC saat masih menjabat.