Lamongan – Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan Panji Gumilang dan Pesantren Al Zaytun merupakan rentetan dari gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia yang dicetuskan oleh Kartosoewirjo. Menurut Mahfud, di masa awal kemerdekaan Indonesia, banyak pejuang dari kalangan Islam yang terpinggirkan dan tak tertampung dalam tata kelola pemerintahan.
Masalah itu merupakan imbas dari politik pendidikan warisan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung diskriminatif. Hanya kalangan Islam yang punya ijazah sajalah yang bisa masuk ke pemerintahan.
Mahfud MD berujar, pejuang, anak-anak muda, dan tokoh Islam banyak yang tidak tertampung dalam tugas-tugas di pemerintahan negara baru. Sehingga, banyak kalangan Islam yang memutuskan untuk kembali ke pesantren dan fokus dalam mendidik santrinya. “Tapi ada juga yang marah karena tidak tertampung,” tutur Mahfud Md sebagai pembicara kunci dalam Halaqah Ulama Nasional di Pesantren Sunan Drajat Lamongan, seperti dipantau dari siaran langsung di Youtube, Rabu, 12 Juli 2023.
Selain itu, kata Mahfud, terpinggirkannya umat Islam dalam tata kelola negara baru Indonesia ini bahkan menimbulkan kemarahan sebagian kalangan Islam. Salah satunya adalah Kartosoewirjo yang kemudian mendirikan DI/TII.
“Perjuangan yang dilakukan Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia sebenarnya terus berlanjut, masih ada ekornya sampai sekarang, hingga sekarang ada ribut-ribut soal Panji Gumilang. Jadi Panji Gumilang dulu induknya adalah Negara Islam Indonesia,” kata Mahfud dalam paparannya yang berjudul ‘Membangun Jembatan Pesantren dengan Pendidikan Umum’ itu.
Menurut Mahfud, NII merupakan organisasi tanpa bentuk. Meski pun gerakan bawah tanah, tetapi NII memiliki struktur yang terdiri dari syekh selaku pemimpin, gubernur, menteri, bupati hingga camat. Pemikiran Kartosoewirjo yang dilanjutkan oleh penerusnya itu akhirnya diketahui oleh pemerintah.
NII bikinan Kartosoewirjo yang seolah sudah tamat itu pun kemudian dioperasi kembali oleh intelijen. Pemerintah mengetahui bahwa NII sebenarnya masih hidup meski sudah ditumpas di berbagai tempat. Akhirnya pemerintah menggalang gerakan untuk melemahkan NII dengan cara dipecah dan diadu, NII versus NII.
“Nah, (NII) itu diketahui oleh pemerintah, sehingga pada awal tahun 1970-an, NII oleh pemerintah dipecah, diadu, yang satunya untuk melawan yang lain. Itu operasi yang dilakukan Ali Moertopo,” tutur Mahfud.
“Memang begitu dulunya, dulu ada Komando Jihad, ada orang dipancing untuk berkumpul lalu disuruh membuat resolusi, disuruh buat pernyataan keras. Setelah itu ditangkap lalu dicitrakan ada Komando Jihad yang sama dengan NII sebelumnya. Saya dengar dari sumbernya langsung,” kata dia.
Mahfud berujar NII hasil operasi dan bentukan pemerintah waktu itu salah satu wilayahnya adalah Komandemen 9, yang sekarang menjadi Al Zaytun.”Mengadu NII dengan NII itu kalau pakai sholawatnya orang NU itu sama dengan sholawat asyghil. Wa asyghilid dholimin bid dholimin. NII diadu dengan NII, maka NII akan hancur sendiri, kira-kira begitu,” katanya.
Sesudah merasa nyaman dengan pemerintah, merasa aman, kemudian Panji Gumilang memecahkan diri. Ia menampilkan sosok Al-Zaytun yang seperti sekarang. Di balik inilah, tutur Mahfud, latar belakang sejarah dan pengikut-pengikut NII masih banyak.
“Kalau Saudara bertanya mau diapakan Al Zaytun itu? Ada yang mengatakan, Pak, dibubarkan saja, itu berbahaya. Sampai sekarang pemerintah tidak pernah membubarkan pesantren. Saya berpikir kita jangan membuat preseden buruk untuk membubarkan pesantren,” ucap Mahfud.