Makna Simbol Bhuta Kala di Ogoh-Ogoh Sambut Hari Raya Nyepi

Sambut Perayan Nyepi 2023, Ogoh Ogoh Diarak di Bundaran HI Jakarta

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian Tahun Saka yang dirayakan umat Hindu setiap satu tahun sekali. Tahun ini, Nyepi jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023. Perayaan ini dibarengi dengan serangkaian upacara dan juga pawai ogoh-ogoh.

Lantas, apa itu ogoh-ogoh? Dikutip dari Karya Ilmiah: Karya Seni Monumental “Ogoh-ogoh Festival” oleh Alit Kumala Dewi, Selasa, 21 Maret 2023, ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala.

Dalam ajaran Hindu, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa.

Ogoh-ogoh berperan sebagai simbol prosesi penetralisir kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi adalah perwujudan Bhuta Kala, makhluk besar dan menyeramkan.

Saat awal diciptakan, ogoh-ogoh dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana. Rangka itu lantas dibentuk dan dibungkus kertas. Perkembangan zaman turut membuat pergeseran pada kreasi ogoh-ogoh.

Inovasi ogoh-ogoh dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam. Pembungkus badan ogoh-ogoh pun diganti gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan.

Ogoh-ogoh adalah cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Tradisi ini sebagai pengingat bagi masyarakat Bali khususnya. Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa.

Awal Mula Ogoh-Ogoh

Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru. Saat segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.

Dikutip dari laman Pemerintah Kabupaten Buleleng, ogoh-ogoh diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali yang berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Pada 1983 jadi bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali.

Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud Bhuta Kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional.

Cendekiawan Hindu Dharma menyimpulkan bahwa proses perayaan ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dahsyat. Kekuatan itu dapat dibagi dua, yakni kekuatan bhuana agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan bhuana alit yang berarti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.

Rangkaian Upacara Sambut Hari Raya Nyepi

Ada beberapa upacara adat yang digelar untuk menyambut Hari Raya Nyepi di Bali. Simak selengkapnya seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, berikut ini.

1. Upacara Melasti

Upacara Melasti yang disebut juga Melis ini digelar beberapa hati sebelum Nyepi. Saat upacara ini segala sesuatu atau sarana persembahyangan di pura-pura di bawa ke laut untuk disucikan.

Saat Melasti, berbagai pretima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Zaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala.

Segara atau laut, dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Namun seiring perkembangan zaman, kearifan akal budi manusia memodifikasi dengan membuat Jempana, sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut.

Usai pretima disucikan dan akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah Hari Raya Nyepi berlalu. Kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing. Selambat-lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus telah selesai secara keseluruhan, dan pretima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

2. Mecaru atau Tawur

Tawur digelar pada Tilem Sasih Kesange (bulan mati ke-9), yaitu sehari sebelum Nyepi. Ini adalah upacara yang dilakukan di setiap rumah keluarga, desa, kecamatan dan sebagainya.

Dengan membuat sesajen yang ditujukan kepada para Bhuta Kala atau bisa disebut hal-hal negatif agar pada nantinya tidak mengganggu kehidupan manusia. Umat Hindu melaksanakan upacara “Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis Caru (semacam sesajian).

Tawur atau pecaruan sendiri adalah penyucian atau pemarisuda (Buta Kala). Selain itu, segala “leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.

3. Pengerupukan

Upacara Pengerupukan digelar setelah Mecaru dengan menyebar (nasi) tawur, yaitu dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan. Juga membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan.

Langkah ini dilakukan diharapkan untuk mengusir para Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Pada tingkat desa, diadakan arakan ogoh-ogoh yang adalah perwujudan dari Bhuta Kala yang bersifat negatif. Diarak keliling desa kemudian dibakar, tujuannya agar hal-hal yang berbau negatif itu lenyap dan tidak mengganggu kehidupan manusia.

4. Nyepi

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi, pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi. Tidak ada aktivitas seperti biasanya, pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari:

Amati Geni, yakni tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Amati Karya, yaitu tidak berkegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani.

Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan atau hiburan melainkan memusatkan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi.

Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabrata” fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24 jam). Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap.

5. Ngembak Geni

Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah Nyepi (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “aku adalah kamu dan kamu adalah aku”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *