Masyarakat Berpenghasilan Rendah Berpotensi Sumbang Angka ”Stunting” di Palembang

Kawasan rumah susun Palembang yang tampak kumuh, Kamis (22/6/2022). Kawasan ini akan menjadi tempat pemasangan jaringan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Palembang tahap pertama.

PALEMBANG, KOMPAS — Masyarakat berpenghasilan rendah dan warga yang tinggal di kawasan kumuh berkontribusi cukup besar terhadap kasus stunting atau tengkes di Palembang, Sumatera Selatan. Sejumlah langkah intervensi dilakukan untuk menekan tengkes, termasuk menciptakan kampung keluarga berkualitas di setiap kecamatan.

Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kota Palembang Altur Febriansyah, Rabu (14/6/2023). Dia menuturkan, permasalah stunting di kota Palembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman calon pengantin terkait dengan kecukupan gizi untuk anak, kondisi lingkungan, dan juga pendapatan dari keluarga tersebut.

Dimulai dari calon pengantin, diketahui masih ada warga yang menikah terlalu dini. Bahkan, di beberapa kecamatan, terutama di kawasan pinggiran Kota Palembang, banyak ditemukan perempuan yang menikah di usia 20 tahun. Kondisi ini tentu berisiko bagi ibu dan juga calon bayi.

Penyebab lain adalah kondisi lingkungan yang kurang menunjang, seperti minimnya pasokan air bersih yang berpengaruh pada kurang baiknya sanitasi di lingkungan tersebut. ”Padahal, air bersih merupakan faktor penting terhadap tumbuh kembang anak,” ujarnya.

Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama mendaftarkan diri untuk rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama mendaftarkan diri untuk rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.

Yang tidak kalah berpengaruh, lanjut Altur, adalah pendapatan orangtua yang rendah sehingga anak tidak mendapatkan asupan pangan yang memadai atau sesuai dengan standar gizi yang dibutuhkan, bahkan sejak dari masih di dalam kandungan. ”Karena itu, penyumbang stunting terbesar di Palembang ada di kawasan pinggiran atau kawasan kumuh yang didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” ujarnya.

Dari pemetaan masalah inilah, ujar Altur, sejumlah langkah intervensi dilakukan. Misalnya, membuat kampung berkualitas, di mana setiap institusi terkait, termasuk sektor swasta, terlibat untuk mengatasi permasalah di suatu kawasan tertentu. ”Ada 17 kampung berkualitas di Palembang. Kampung ini akan menjadi kawasan percontohan untuk daerah-daerah yang ada di sekitarnya,” ucap Altur.

Di dalam kampung tersebut dilakukan sejumlah intervensi strategis, seperti ketersediaan air bersih, edukasi mengenai pencegahan tengkes, hingga pengaktifan posyandu. Bahkan, warga di kampung tersebut, kata Altur, juga dibina untuk bisa menghasilkan asupan pangan dari pekarangan rumahnya sendiri dengan menanam sejumlah tanaman pangan.

Mengubah pola pikir masyarakat untuk menanam tanaman pangan di pekarangan rumah juga bisa menekan risiko ’stunting’.

Di sisi lain, aparat pemerintahan ke tingkat kelurahan memastikan setiap warganya mendapatkan fasilitas bantuan dari pemerintah, baik berupa jaminan sosial maupun program keluarga harapan. ”Bantuan tersebut diharapkan dapat meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah untuk mencukupi kehidupan sehari-hari,” ujar Altur.

Salah satu rumah papan di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama mendaftarkan diri untuk rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Salah satu rumah papan di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama mendaftarkan diri untuk rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.

Langkah intervensi ini terbukti efektif menekan angka prevalensi tengkes di Palembang dari 16,1 persen tahun 2021 menjadi 14,3 persen tahun 2022. Capaian ini ada di bawah prevalensi tengkes nasional, yakni 21,6 persen.

Hanya di lapangan ditemukan sejumlah kendala, mulai dari kesadaran masyarakat untuk konsisten melakukan aktivitas tersebut. ”Di sinilah peran semua pihak untuk bisa terlibat,” ucapnya.

Wali Kota Palembang Harnojoyo berharap agar semua pihak terkait bisa menciptakan inovasi dan terus berkolaborasi untuk menekan tengkes di Palembang. Misalnya, upaya pendeteksian secara dini anak yang berisiko tengkes, juga membenahi fasilitas dasar agar polah hidup sehat dan bersih dapat terwujud.

Melibatkan 40 instansi

Dia mencontohkan di 17 Kampung Berkualitas di Palembang yang melibatkan sekitar 40 instansi terkait untuk urung rembuk membenahi fasilitas umum di kampung tersebut, seperti ketersediaan sarana air bersih dan juga sanitasi serta pendeteksian dini anak berisiko tengkes yang melibatkan puskesmas terdekat.

Seorang anak sedang berdiri di Masjid Nurul Hidayat, Kecamatan Sematang Borang, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Ancaman tengkes mengintai anak di Sumsel karena keterbatasan fasilitas air bersih.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Seorang anak sedang berdiri di Masjid Nurul Hidayat, Kecamatan Sematang Borang, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Ancaman tengkes mengintai anak di Sumsel karena keterbatasan fasilitas air bersih.

Terpisah, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berpendapat, kemandirian pangan menjadi hal penting untuk menekan tengkes. Utamanya masyarakat berpenghasilan rendah. ”Mengubah pola pikir masyarakat untuk menanam tanaman pangan di pekarangan rumah juga bisa menekan risiko stunting,” ucapnya.

Langkah yang sudah dilakukan adalah dengan menggalakan program gerakan Sumsel Mandiri Pangan di semua daerah dengan melibatkan instansi terkait. Selain menekan tengkes, GSMP juga diklaim mampu menekan angka kemiskinan dan inflasi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/5yQHvODrOsrX8Ci_fml4hJfL8WE=/1024x775/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F10%2F6f01fabc-4354-4e06-b0e5-fd21968b780e_jpg.jpg

Prevalensi stunting atau tengkes Sumatera Selatan turun signifikan. Sumsel pun mematok target nasional pada 2024 sebesar 14,3 persen dapat dicapai tahun 2023. Hanya masih ada empat kabupaten yang angka tengkesnya di atas angka nasional.

Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Trisnawarman mengatakan, berdasarkan studi status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi tengkes di Sumsel turun dari 24,8 persen menjadi 18,6 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi nasional sebesar 21,6 persen.

Trisnawarman menjelaskan, pencapaian ini disebabkan oleh penurunan prevalensi tengkes yang terjadi di 16 kabupaten kota di Sumsel. Hanya Kabupaten Banyuasin yang mengalami kenaikan prevalensi tengkes dari 22 persen menjadi 24,8 persen.

Warga Kampung Sungai Pedado, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, sedang berjalan di atas jembatan, Sabtu (13/5/2023). Daerah ini merupakan daerah pinggiran Kota Palembang yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh bangunan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Warga Kampung Sungai Pedado, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, sedang berjalan di atas jembatan, Sabtu (13/5/2023). Daerah ini merupakan daerah pinggiran Kota Palembang yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh bangunan.

Selain itu, masih ada empat daerah yang angka prevalensi tengkesnya di atas nasional, yakni Muara Enim (22,8 persen), Musi Rawas (25,4 persen), Banyuasin (24,8 persen), dan Ogan Ilir (24,9 persen). ”Kabupaten ini yang masih menjadi perhatian agar segera mendekati target nasional,” kata Trisnawarman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *