Pengusaha Lapor Daging Sapi dan Produk Turunannya Tak Boleh Masuk NTT
– Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan ada larangan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada pengusaha untuk memasok sapi dan produk turunannya. Larangan itu berlaku untuk mencegah penyebaran penyakit mulut dan muku (PMK) di NTT.
“Tiba-tiba keluar instruksi gubernur, daging sapi dilarang masuk beserta seluruh turunannya,” ujar Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan pada Ahad, 25 September 2022.
Roy menunjukkan surat Instruksi Gubernur NTT dengan nomor 02 /Disnak/2022 tentang pencegahan penyebaran PMK. Surat bertarikh 16 Agustus 2022 itu ditandatangani oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat.
Adapun surat tersebut ditujukan kepada bupati/wali kota se-NTT, Kepala Dinas Peternakan NTT, Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah NTT, Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas III Kupang, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Kupang, dan Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Ende. Tidak hanya produk sapi, dalam surat instruksi itu ada juga larangan masuk sementara untuk ternak kerbau, kambing, domba dan babi serta produk asal ternak (daging, susu, semen dan kulit) dari daerah tertular PMK dan daerah transit yang tertular PMK ke wilayah NTT.
Kendati begitu, ada pengecualian aturan yang berlaku untuk susu bubuk untuk bayi di bawah dua tahun (baduta) serta anak di bawah lima tahun (balita). Pengecualian berlaku untuk produk yang dikeluarkan oleh pabrik pengolahan susu yang telah teregistrasi oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Meski demikian, produk itu harus sudah mengantongi hasil pemeriksaan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) bebas PMK dari laboratorium Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya sebagai laboratorium rujukan PMK. Kemudian, produk juga harus mengantongi sertifikat dari verteriner daerah asal. Produk pun wajib telah didisinfeksi oleh petugas karantina pertanian di pintu keberangkatan dan kedatangan pelabuhan maupun bandara.
Roy menuturkan larangan itu membuat produk sapi dan turunannya, seperti abon, yogurt, dan susu, di supermarker kosong. Dia melanjutkan, semestinya kebijakan itu muncul setelah dikoordinasikan dengan pihak-pihak yang berkaitan. Roy menuturkan pelaku usaha meminta Pemerintah NTT memberikan penjelasan, bukan hanya menyodori surat instruksi atau peraturan daerah (Perda). “Coba kita diajak komunikasi. Maksudnya supaya kita dapat menjelaskan kepada masyarakat yang ketemu beli barang kebutuhan pokok sehari-hari,” ujar Roy.
Adapun selain melarang masuknya produk sapi dan hewan ternak lainnya, dalam surat tersebut Pemerintah NTT meminta bupati/wali kota guna meningkatkan kewaspadaan terhadap setiap tanda klinis pada ternak sapi, kerbau, kambing, domba dan babi yang mengarah ke PMK. Tanda itu adalah suhu tubuh di atas 41 derajat Celcius, ada luka berisi cairan bening, nafsu makan hewan menurun drastis, hipersalivasi, sampai luka pada kuku yang mengakibatkan kuku terlepas sehingga menyebabkan hewan pincang atau susah berdiri.
Roy meengungkapkan pihaknya sudah berkomuniksi dan menanyakan persoalan ini kepada Kementerian Perdagangan serta BPOM.