Prabowo Tertawa Masa Jabatan Ketum Parpol Digugat ke MK
– Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menanggapi santai gugatan masa jabatan ketua umum partai politik hanya dua periode di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan Undang-Undang Partai Politik itu diajukan oleh dua orang warga bernama Eliadi Hulu dari Nias dan Saiful Salim dari Yogyakarta.
Menurut Prabowo, semua partai memiliki aturan sendiri soal masa jabatan ketua umum.
“Hahaha, itu kan sesuai anggaran dasar masing-masing partai,” kata Prabowo saat ditemui di kawasan Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 26 Juni 2023.
Dalam gugatannya, Eliadi dan Salim menggugat Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.
Mereka meminta agar pasal itu diubah menjadi “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.”
Mereka menyebut partai politik dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu. Sehingga, sudah sepatutnya pemimpin partai politik juga dibatasi masa jabatannya sebagaimana halnya kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
Para penggugat mencontohkan beberapa partai yang masa jabatannya lebih dari dua periode dan menganut dinasti politik, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sudah 24 tahun dan anaknya Puan Maharani menjadi Ketua PDI Perjuangan. Kemudian Partai Demokrat yang awalnya dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kini menurun ke anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro atau Ibas menjadi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat.
Eliadi dan Salim menyebut partai adalah pilar dan instrumen demokrasi, sehingga pembatasan masa jabatan pemegang kekuasaan di kalangan internal tubuh partai mutlak dilakukan. “Menjadi paradoks bilamana status parpol sebagai tonggak, pilar dan penggerak demokrasi, namun tidak melaksanakan nilai dan prinsip dari demokrasi itu sendiri,” bunyi gugatan tersebut.