Serial Monolog Di Tepi Sejarah Tayang Kedua Kalinya di Bulan Agustus
Jakarta,Sonora.Id – Serial monolog “Di Tepi Sejarah” memasuki musim penayangan kedua pada bulan Agustus ini. Lima riwayat pelaku sejarah dikisahkan di atas panggung. Monolog produksi Titimangsa dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ini menampilkan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), Kassian Cephas (1845-1912), Gombloh (1949-1988), Ismail Marzuki (1914-1958) dan Emiria Soenassa (1895-1964),
“Sjafruddin dipinggirkan dari sejarah kita dan disebut pengkhianat, padahal ia pernah memimpin pemerintahan Indonesia,” kata Happy Salma, pendiri Titimangsa dan produser pementasan Di Tepi Sejarah.
Tragedi Sjafruddin dihadirkan agar pemirsa Di Tepi Sejarah, yang sasaran utamanya adalah pendidik dan pelajar, dapat berdiskusi dan melihat dari sudut pandang lain. Yulia Evina Bhara, Produser KawanKawan Media, mengatakan berdasarkan pengalaman pada musim pertama (2021) guru-guru yang menonton membuat resensi lalu mendiskusikan apa yang mereka saksikan dari monolog pelaku-pelaku sejarah. Murid-murid lalu mendapat pengalaman baru tentang apa itu belajar sejarah.
“Tujuan kami sebetulnya sampai di situ saja, membuka ruang-ruang diskusi mengenai
sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas karena panggungsejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar,” kata Yulia.
Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, mengapresiasi ikhtiar Di Tepi Sejarah. Itu sebab, menurutnya, Kemendikbudristek mendukung kembali serial ini hingga memasuki musim kedua.
“Kita membutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan kita makin maju. Di Tepi Sejarah adalah sebuah inisiasi yang memberi
kontribusi,” demikian Ahmad Mahendra.
Selain Sjafruddin Prawiranegara (episode Kacamata Sjafruddin), keempat pelaku sejarah dalam musim tayang 2022 adalah orang-orang yang bergelut dalam kebudayaan. Episode Mata Kamera menampilkan Kassian Cephas, fotografer profesional pertama dari kalangan bumiputra (sebutan untuk orang Indonesia sebelum merdeka). Kassian bekerja di Keraton Mataram Yogyakarta masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai juru foto. Kassian meninggalkan pengaruh kuat pada perkembangan fotografi di Indonesia kelak.
Figur ketiga adalah Gombloh (episode Panggil Aku Gombloh). Penikmat musik pop saat ini mungkin masih mengingat lagu tersohornya, “Kugadaikan Cintaku” yang sering kali diucapkan sebagai “di Radio” sesuai lirik pertama lagu ini. Titimangsa dan Kawan Kawan Media memilih Gombloh untuk mengantar pesan mengenai solidaritas sosial dan rasa cinta tanah air.
“Gombloh sangat kontekstual, kita akan lihat ada banyak yang dipedulikan Gombloh saat itu masih terjadi pada hari-hari ini,” terang Yulia Evina Bhara.
Episode Ismail Marzuki diberi judul Senandung di Ujung Revolusi. Melalui judul ini ada pernyataan yang terang diungkapkan bahwa revolusi kemerdekaan tidak melulu berkisah tentang bunyi bedil atau urat leher diplomasi.
“Lagu-lagu Ismail hadir di ujung revolusi sebagai penanda bahwa Indonesia memasuki era baru sebagai bangsa yang berdaulat,” kata Agus Noor, sutradara monolog ini yang juga menulis naskahnya bersama Putu Fajar Arcana.
Suatu tepian jauh coba dijangkau juga oleh Di Tepi Sejarah dengan menghadirkan Emiria Soenassa (episode Yang Tertinggal di Jakarta). Emiria perempuan yang cukup misterius.
“Sumber tentang hidupnya sangat kurang dan kerap bertolak belakang satu sama lain,” kata Felix K Nesi yang menulis naskah episodeini. Emiria adalah pelukis perempuan Indonesia, boleh dibilang pertama, di awal abad ke-20. Ia adalah perempuan pertama yang menjadi kepala perkebunan. Ia perawat kesehatan. Ia juga pemikir revolusioner
yang turut menjadi anggota delegasi dalam Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini menjadi penentu bagi akhir perang dan pengakuan dunia atas kemerdekaan Indonesia. Dira Sugandi dipercaya memerankan Emiria di bawah arahan sutradara Sri Qadariatin.
Ahmad Mahendra berharap pementasan monolog tentang pelaku-pelaku kebudayaan itu dapat memantik pikiran-pikiran tentang pertemuan dan persilangan budaya yang terjadi di Indonesia.
“Dalam waktu hampir seratus tahun sejarah modern Indonesia, sedikit sekali ruang itu terbuka kecuali dalam kongres-kongres kebudayaan,” kata Ahmad Mahendra.