Jakarta, CNN Indonesia — Sri Asih sudah seharusnya lebih matang dan unggul dibanding rilisan Jagat Sinema Bumilangit pertama, Gundala (2019). Proyek ini punya kesempatan untuk belajar dari Gundala yang menuai beragam respons saat tayang tiga tahun lalu.
Produksi film ini juga memakan waktu hingga tiga tahun sampai akhirnya rilis pada pertengahan November 2022. Hasilnya, film garapan Upi tersebut mampu mengungguli Gundala pada sejumlah bagian.
Sinopsis Sri Asih, Superhero Perempuan Pertama Jagat Sinema Bumilangit
Aspek yang unggul itu tampak dari cara Upi dan Joko Anwar menempatkan Sri Asih sebagai poros utama dari semesta Bumilangit. Cerita yang diangkat seolah mengikat asal usul sang superhero dengan konflik utama saga tersebut.
Satu per satu karakter penting juga mulai bermunculan, baik dari pihak superhero maupun villain. Film ini praktis memberi gambaran yang lebih gamblang mengenai arah cerita Jagat Sinema Bumilangit.
Pevita Pearce secara keseluruhan sanggup menunaikan tugasnya sebagai Sri Asih. Sebagai pemeran superhero dengan keahlian bertarung, dedikasi Pevita berlatih bela diri terbayar lunas lewat adegan laga film tersebut.
Review Sri Asih: film ini jelas sebuah peningkatan dari Gundala, tapi masih punya banyak PR soal urusan tata cerita.: (dok. Screenplay Bumilangit)
Capaian itu juga didukung dengan suguhan visual yang tidak murahan berkat kualitas efek CGI pada berbagai adegan. Di sisi lain, kostum yang dikenakan Sri Asih dan villain utama tampak cocok dan nyetel dengan nuansa film ini.
Namun di luar urusan teknis serta perbandingan dengan Gundala, film ini masih menyimpan segudang catatan. Film ini tampak kesulitan dalam menjahit cerita sehingga terasa acak-acakan pada beberapa bagian.
Carut marut plot cerita itu berakibat kepada emosi film yang kurang tersampaikan. Akibatnya, pencarian jati diri Alana (Pevita Pearce) sebagai Sri Asih jadi terasa hambar.
7 Karakter Penting yang Bakal Ditemui di Sri Asih
Satu-satunya kesan yang saya rasakan adalah rasa bangga terhadap kemajuan film superhero, yang sejatinya tak ada hubungannya dengan cerita film ini.
Beberapa adegan dalam film ini juga terasa sia-sia karena tidak punya banyak kontribusi dalam membangun cerita maupun konflik. Keberadaan adegan-adegan itu tak pelak membuat Sri Asih gagal merangkai cerita yang efektif.
Upaya menyampaikan kritik sosial lewat sejumlah karakter dan dialog pun terasa tanggung. Penyebabnya tak lepas dari latar belakang dan motif di balik ‘statement’ tersebut yang terasa lemah.