Jakarta, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 34/PUU-XIX/2021 dinilai belum memberikan kepastian terhadap nasib pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hendak diberhentikan pada 1 November mendatang.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, mempertanyakan niat baik dari pimpinan KPK dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjalankan putusan MK.
Dalam hal ini, ia memaknai putusan MK dimaksud menguntungkan pegawai KPK nonaktif karena alih status ditegaskan tidak boleh merugikan hak pegawai KPK dalam keadaan apa pun.
“Kan menjalankan putusan MK itu butuh niat konstitusional yang baik karena kan tidak ada daya paksanya. Niat konstitusional Ghufron [Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron] dan kawan-kawan serta presiden ada atau tidak. Jangan-jangan sedari awal tidak ada niat mematuhi putusan MK,” ujar Feri melalui keterangan tertulis, Kamis (2/9).
Ia menyoroti sikap diam Jokowi sejauh ini meskipun sudah ada hasil pemeriksaan maupun putusan dari tiga lembaga negara yakni MK, Komnas HAM, dan Ombudsman RI.
“Buktinya, jika menginginkan mudah bagi presiden untuk mengangkat pegawai KPK itu berdasarkan PP Manajemen PNS. Tapi, presiden tidak melakukannya,” ucap pakar hukum tata negara tersebut.
Ia menambahkan, saat ini upaya lain yang dapat dilakukan pegawai KPK nonaktif untuk merebut haknya adalah dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait berita acara rapat koordinasi terkait tindak lanjut hasil TWK yang berujung penonaktifan pegawai dan melibatkan kementerian/lembaga lain.
Langkah ini sebelumnya sempat dipikirkan oleh pegawai KPK nonaktif, tetapi hingga saat ini mereka belum mendaftarkan gugatan.
“Gugatan ke PTUN mungkin bisa jadi pilihan hukum walaupun peradilan pun belum tentu bisa mengantarkan keadilan yang diinginkan publik,” kata Feri.
MK menyatakan gugatan untuk membatalkan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C tersebut tidak beralasan menurut hukum. Oleh karenanya, MK menolak seluruh gugatan pemohon.
Dalam putusan itu, terdapat empat orang hakim konstitusi yang menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion). Empat orang itu adalah Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Empat orang hakim konstitusi itu memberikan beberapa pertimbangan. Salah satunya, para pegawai KPK seharusnya diangkat menjadi ASN jika merujuk UU KPK.